GARAPNEWS.COM – Dalam konteks gerakan kita, usaha untuk membangkitkan sociopreneur merupakan bagian dari pilar keempat gerakan. Setelah kita berhasil di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang menjadi amal usaha dakwah, maka kita mesti masuk pada pengembangan wirausaha.
Gerakan wirausaha memiliki jejak yang kuat dalam Islam dan sejarah Nabi Muhammad. Sebelum menerima risalah kenabian, Rasulullah SAW dikenal luas sebagai seorang pedagang. Jangkauan bisnisnya tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga kawasan-kawasan luar, semisal Syam (Suriah). Karena itulah, berwirausaha merupakan bagian dari spirit ajaran Islam.
Kita disuruh berusaha mencari kebahagiaan hidup di akhirat tapi jangan melupakan kehidupan di dunia. Jadi, dalam Islam tidak dibenarkan hidup melarikan dengan cara zuhud, wara’ anti dunia. Watak dari Islam tidak hanya berdiam dari masjid tapi juga harus berusaha, harus berniaga, mencari nafkah.
Semangat zakat, infak, shadaqah & wakaf (ziswaf) menunjukkan bahwa seorang muslim harus memiliki sesuatu untuk diberikan kepada muslim yang lain.
Zakat tidak hanya terkandung dimensi teologis tentang ketaatan seorang hamba terhadap Rabb-nya. Tapi, ada dimensi sosiologis untuk menggugah kesadaran kemanusiaan kita. Dengan kata lain, adanya kewajiban zakat menandakan bahwa Islam membolehkan seorang muslim untuk menjadi konglomerat (aghniya).
Bahkan Islam membolehkan untuk jadi kaya, jadi konglomerat, itu tidak salah. Itu bagian dari Islam agar kita bisa mengamalkan ajaran Islam seperti zakat. Tidak mungkin kita berzakat tapi tidak memiliki kekayaan.
Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim, berbunyi: “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Karenanya, Islam sangat menganjurkan agar menyiapkan generasi yang berkualitas (dzurriyatan thayyibatan), bukan generasi yang lemah (dzurriyatan dhia’fan)”.