Oleh : Edi Sutan Pasaribu
Melihat perkembangan yang tampaknya masih akan terus bergerak dan berkembang secara progresif tanpa kenal batas serta orientasi hidup manusia yang kian ingin simple dan substantif, sekian puluh tahun atau pada generasi berikutnya, kondisi itu bakal tiba.
“Lonceng kematian bagi dunia pendidikan formal” akan berbunyi keras!. Yang sudah mulai tampak kini seakan redup ialah lembaga-lembaga kursus atau bimbel. Lembaga-Lemaba ternama yang dulu diidolakan dan dibanggakan oleh para siswa, kini telah mulai tergantikan oleh lembaga sejenis yang besifat daring. Sebab dianggap lebih praktis, murah, dan mutunya tidak kalah –bahkan boleh jadi lebih bagus- dari yang kompensional.
Itu jika orientasi manusia nanti masih sekedar ilmu dan skill. Namun jangan lupa, bagi manusia yang beradab, tujuan pendidikan itu bukan hanya untuk ilmu dan keterampilan motorik. Yang tidak kalah pentingnya –bahkan menjadi yang paling urgen- adalah nilai afektif, budi pekerti, atau akhlak. Sebab, betapa banyak manusia berlilmu, ketika hatinya tidak diisi, ditanamkan serta dibiasakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang baik, ia malah berbahaya bagi alam dan kehidupan manusia lainnya. Hal ini sudah sejak lama diwanti-wanti oleh para pakar dan pegiat pendidikan. Di dunia pendidikan Indonesia –khususnya di kalangan Muslim- sering muncul sebutan: “Perpaduan dan Keseimbangan antara IPTEK dan IMTAQ”. Artinya, tidak melulu orientasinya kepada ilmu dan skill hidup, tapi juga keimanan dan ketaatan kepada Tuhan. Dan orang yang bagus agamanya, pasti menghargai dan memuliakan seluruh makhluk ciptaan Tuhan, terutama manusia. Bahkan dalam kurikulum Pendidikan Nasional terakhir ditegaskan, penilaian itu terbagi pada tiga sapek: Kognitif (Pengetahuan teori), Apektif (Akhlak atau Prilaku), dan Psikomotorik (Keterampilan).
Nah, apabila perkembangan ini kian tak terbendung, orientasi manusia pun makin pragmatis, jika masih ada atau muncul kembali kesadaran bahwa ilmu dan keterampilan saja tidak cukup bahkan dianggap tidak berguna bagi manusia bila ia tidak memiliki akhlak yang baik, sementara penanaman nilai serta pembiasaan akhlak itu tidak mungkin didapatkan melalui jaringan internet atau secara daring, di saat itu satu-satunya alternatif bagi pendidikan anak hanyalah model pendidikan berbasis asrama atau pembinaan langsung secara terus-menerus (24 jam penuh). Ya, katakanlah pendidikan seperti model Pondok Pesantren. Sebab, di sana, selain anak mendapatkan ilmu dan diajari skill hidup, akhlaknya terjaga dan ibadahnya terlatih, manfaat paling minim dan juga mungkin yang paling urgen bagi para Orang Tua, sang anak dapat terhindar dari pergaualan bebas dan pengaruh negatif media dari luar. Setidaknya selama usia remaja anak yang dikenal amat rentan terpengaruh oleh lingkungan.
Jika demikian kondisinya, artinya para Orang Tua yang masih sadar dan butuh akan penanaman nilai-nilai moral, pendidikan karakter, dan ajaran agama bagi anak-anak mereka, lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada mesti berbenah dan “putar haluan” menjadi pendidikan model asarama atau Pondok Pesantren. Sebab, jika tidak, dan masih berkutat dengan cara lama yang mulai ditinggalkan karena sudah tidak dibutuhkan lagi, lembaga-lembaga itu akan tamat tanpa menamatkan peserta didiknya.
Namun bagi pendidikan model pesantren yang ada, sebaliknya tidak boleh menutup mata dan menutup diri terhadap perkembangan yang ada. Para santri yang belajar di dalam Pondok Pesantren pun mesti dipersiapkan dan dibekali kemampuan diri untuk menghadapi perkembangan yang ada. Di samping penanaman nilai agar jangan sampai terhanyut oleh kemajuan itu, tapi justru memanfaatkannya untuk dakwah bagi maslahat manusia untuk dunia dan akhirat. Sebab, generasi mereka akan hidup dan mengarungi tantangan di zaman mereka sendiri yang berbeda dengan tantangan generasi kini.
Alangkah eloknya jika para Orang Tua atau Calon Orang Tua saat ini, juga para praktisi pendidikan memikirkan langkah untuk menyambut dan menghadapi kondisi yang besar kemungkinan bakal terjadi.